Sabtu, 05 Januari 2013


PERKEMBANGAN PEMIKIRAN ISLAM DI INDONESIA

a.    Latar Belakang Perkembangan Pemikiran Islam Di Indonesia
Peta pemikiran Islam kontemporer di Indonesia terjadi pada penguhujung abad XX. Kenyataan ini sempat menjadi heboh, karena munculnya beberapa tokoh yang sebelumnya sama sekali tidak diprediksikan. Para cendekiawan tersebut dengan serta merta menunjukkan apresiatifnya terhadap wacana keislaman secara tajam. 
Sikap apresiatif terhadap wacana keislaman itu adalah diwakili keempat tokoh; Amien Rais, Nurcholis Madjid, Abdurraman Wahid dan Jalauluddin Rahmat. Dengan segala kelebihan dan kekurangannya mereka telah menuangkan ide dan gagasan segarnya sebagai sumbangan pemikiran keislaman yang sangat berguna bagi pengembangan umat beragama di Indoensia. Lebih dari itu, mereka amat dekat dengan publik dan dunia pers. Hampir tidak ada waktu luang bagi mereka untuk menyendiri.
Mereka memiliki reputasi yang sangat tinggi baik di kalangan bawah. Hanya saja mereka mempunyai simplifikasi tertentu yang membuat mereka dapat berkomunikasi dengan komunitasnya. Nurcholish Madjid misalnya, ia lebih dekat dengan kaum intelektual, begitu juga Amien Rais, di samping ia memiliki basis konstuennnya di kalangan Muhammadiyah. Hal serupa juga tidak kalah reputasinaya dengan ketokohan Abdurrahman Wahid dan Jaluluddin Rahmat. Dari keempat tokoh itu, dua di antaranya sudah kembali kepada Sang Pencipta, ialah Nurcholish Madjid dan  Abdurrahman Wahid.
Perkembangan pemikiran Islam di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari sejarah berdirinya organisasi-organisasi masyarakat dan politik. Terbukti sebagian besar pemikiran Islam terlahir dari organisasi-organisasi yang ada, dilanjutkan dengan aktifitas-aktifitas keagamaan yang mengarah kepada islamisasi budaya dan politik secara massal. Mahasiswa sebagai motor penggerak (lokomotif) organisasi-organisasi massa sangat besar perannya bagi arah pemikiran Islam di Indonesia. Sehingga dari sinilah—dalam bahasa Deliar Noer—dapat diketahui akar kebangkitan Islam Indonesia, tidak hanya dalam frame pergerakan, tapi juga pemikiran. Lebih luas, akan ditemukan akar modernisasi Islam di Indonesia.
Syafii Maarif, optimis Islam akan mampu memberi corak pertumbuhan dan perkembangan pemikiran masyarakat Islam yang berwawasan moral. Asalkan Islam dipahami secara benar dan realistis, tidak diragukan lagi akan berpotensi dan berpeluang besar untuk ditawarkan sebagai pilar pilar peradaban alternatif di masa depan. Sumbangsih solusi Islam terhadap masalah masalah kemanusiaan yang semakin lama semakin komplek ini, baru punya makna historis bila umat Islam sendiri dapat tampil sebagai umat yang beriman dan cerdas.
Sejak awal berdirinya, sebagian organisasi mahasiswa Islam ada yang terlahir dari kelompok sosial keagamaan dengan identitas yang jelas. Misalnya saja IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah) yang terang-terangan mengusung nama Muhammadiyah, dan PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia) meski secara struktural independen, namun masih memiliki ikatan kultural yang erat dengan NU. Sedangkan ormas mahasiswa Islam yang lain, HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) dan KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia) , tidak secara jelas membawa identitas kelompok keagamaan tertentu, malah mereka cenderung menjadi kelompok keagamaan tersendiri. Dari sini kemudian berkembanglah corak wacana dan strategi perjuangan yang berbeda-beda.
Perbedaan ini muncul akibat beragamnya metode pendekatan pemikiran keagamaan, sebagai basis ideologi yang mereka bangun. Kebebasan berpikir yang telah menjadi kultur sehari-hari di dunia akademis, telah mengundang sebagian besar mahasiswa Islam untuk merumuskan kembali paradigma pemikiran keagamaan yang telah ada. Hampir semua sepakat bahwa paradigma pemikiran umat Islam saat ini merupakan hasil formulasi ulama klasik. Meski mengalami pembaharuan beberapa kali, tapi tidak banyak perubahan mendasar dalam paradigma pemikiran tersebut. Terlebih lagi tuntutan perubahan mengharuskan umat Islam menyusun kembali paradigma yang baru.
HMI lahir ditengah-tengah suasana revolusi dalam mempertahankan kemerdekaan, yaitu pada 5 Februari 1947 di kota Yogyakarta. Lafran Pane dan kawan-kawan merasa prihatin dengan kondisi umat Islam saat itu yang terpecah-pecah dalam berbagai aliran keagamaan dan politik serta jurang kemiskinan dan kebodohan. Oleh karena itu dibutuhkan langkah-langkah strategis untuk mengambil peranan dalam berbagai aspek kehidupan. Kemudian didirikanlah wadah perkumpulan mahasiswa Islam yang memiliki potensi besar bagi terbinanya insan akademik, pencipta, pengabdi yang bernafaskan Islam dan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah.
Dalam perjalanannya, HMI telah banyak melahirkan kader-kader pemimpin bangsa. Hampir di sepanjang pemerintahan Orde Baru selalu ada mantan kader HMI yang duduk di kabinet. Hal ini tentunya tidak lepas dari peran signifikan HMI dalam keikutsertannya menumbangkan Orde Lama serta menegakkan Orde Baru. Selain itu, sebagai ormas mahasiswa Islam yang independen dan bergerak dijalur intelektual, tidak jarang HMI melahirkan gerakan pembaharuan pemikiran Islam kontemporer di Indonesia. Beberapa kader HMI bahkan sering melontarkan wacana pemikiran Islam yang mengundang kontroversi. Misalnya saja wacana sekulerisasi agama yang diungkapkan Nurcholish Madjid melalui slogannya yang terkenal “Islam Yes, Partai Islam No!.
Nahdlatul Ulama (NU) sebagai ormas Islam terbesar di Indonesia pada tanggal 17 April 1960 di Surabaya mendirikan sebuah organisasi sebagai wadah pergerakan angkatan mudanya dari kalangan mahasiswa yakni Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Pada perkembangannya di awal tahun 1970-an PMII secara struktural menyatakan diri sebagai organisasi independen, terlepas dari ormas apa pun, termasuk dari sang induknya, NU.
Pada masa pergerakan mahasiswa 1998, menjelang peristiwa jatuhnya Soeharto, PMII bersama kaum muda NU lainnya telah bergabung dengan elemen gerakan mahasiswa untuk mendukung digelarnya people’s power dalam menumbangkan rezim Soeharto. Sikap ini telah jauh mendahului sikap resmi kiai senior NU yang lebih konservatif yakni senantiasa menjaga kedekatan dengan pusat kekuasaan untuk membela kepentingan pesantren. Di jalur intelektual PMII banyak mengembangkan dan mengapresiasikan gagasan-gagasan baru, misalnya mengenai hak asasi manusia, gender, demokrasi dan lingkungan hidup.
Ketika situasi nasional mengarah pada demokrasi terpimpin yang penuh gejolak politik di tahun 1960-an, dan perkembangan dunia kemahasiswaan yang terkotak-kotak dalam bingkai politik dengan meninggalkan arah pembinaan intelektual, beberapa tokoh angkatan muda Muhammadiyah seperti Muhammad Djaman Alkirdi, Rosyad Soleh, Amin Rais dan kawan-kawan memelopori berdirinya Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) di Yogyakarta pada tanggal 14 Maret 1964.
Sebagai organisasi otonom (ortom) Muhammadiyah sifat dan gerakan IMM sama dengan Muhammadiyah yakni sebagai gerakan dakwah Islam amar ma’ruf nahi mungkar. Ide dasar gerakan IMM adalah; Pertama, Vision, yakni membangun tradisi intelektual dan wacana pemikiran melalui intelectual enlightement (pencerahan intelektual) dan intelectual enrichment (pengkayaan intelektual). Strategi pendekatan yang digunakan IMM ialah melalui pemaksimalan potensi kesadaran dan penyadaran individu yang memungkinkan terciptanya komunitas ilmiah. Kedua, Value, ialah usaha untuk mempertajam hati nurani melalui penanaman nilai-nilai moral agama sehingga terbangun pemikiran dan konseptual yang mendapatkan pembenaran dari Al Qur’an. Ketiga, Courage atau keberanian dalam melakukan aktualisasi program, misalnya dalam melakukan advokasi terhadap permasalahan masyarakat dan keberpihakan ikatan dalam pemberdayaan umat.
KAMMI terbentuk dalam rangkaian acara FS LDK (Forum Sillaturahmi Lembaga Da’wah Kampus) Nasional X di Universitas Muhammadiyah Malang tanggal 25-29 Maret 1998. Setidaknya ada dua alasan terbentuknya KAMMI, pertama, sebagai ekspresi keprihatian mendalam dan tanggung jawab moral atas krisis dan penderitaan rakyat yang melanda Indonesia serta itikad baik untuk berperan aktif dalam proses perubahan. Kedua, untuk membangun kekuatan yang dapat berfungsi sebagai peace power untuk melakukan tekanan moral kepada pemerintah.
Selanjutnya bersama elemen gerakan mahasiswa lainnya, KAMMI melakukan tekanan terhadap pemerintahan Orde Baru melalui gerakan massa. Dalam pandangan KAMMI, krisis yang terjadi saat itu adalah menjadi tanggung jawab pemimpin dan pemerintah Indonesia sebagai pengemban amanah rakyat. Karena itu untuk memulai proses perubahan tersebut mesti diawali dengan adanya pergantian kekuasaan. Rezim Orde Baru dengan segala macam kebobrokannya, harus diganti dengan pemerintahan yang bersih dan berwibawa.
Setelah tidak kuat menahan desakan rakyat, akhirnya Soeharto dengan terpaksa meletakkan jabatannya. Namun bagi KAMMI, proses reformasi di Indonesiabelumlah selesai, masih membutuhkan proses yang panjang. Lewat Muktamar Nasional KAMMI yang pertama, 1-4 Oktober 1998, KAMMI memutuskan diri berubah dari organ gerakan menjadi ormas mahasiswa Islam. Peran utamanya adalah untuk menjadi pelopor, pemercepat dan perekat gerakan pro-reformasi.
Pemikiran keagamaan dalam masyarakat Islam bersumber dari ajaran aqidah yang dijelaskan dalam Al Qur’an dan Sunnah Nabi Saw dengan inti kepercayaan pengesaan Tuhan (tauhid) dan pengakuan atas kerasulan Muhammmad (Muhammad Rasulullah). Pemikiran teologi tentang Allah merupakan sebuah keyakinan terhadap adanya realitas transedental yang tunggal dan menuntut adanya aplikasi ketaatan pada tataran aksi. Oleh karenanya wujud nyata dari perilaku dan kepribadian umat Islam merupakan cerminan yang tidak dapat dipisahkan dari landasan pemikirannya, baik yang tradisionalis, modernis ataupun neo-modernis.
Di Indonesia sendiri, Fachry Ali dan Bahtiar Effendy menyatakan tentang tipologi gerakan intelektualisme Islam neo-modernisme. Gerakan pemikiran neo-modernisme merupakan gerakan pemikiran Islam yang muncul di Indonesia sekitar tahun 1970-an. Gerakan ini lahir dari tradisi modernisme Islam yang terdahulu dan telah cukup mapan di Indonesia. Akan tetapi ia memakai pendekatan yang lebih khas dari sisi konsepsi maupun aplikasi ide-ide. Dan salah satu organisasi mahasiswa yang cukup berperan memberikan arah pemikiran Islam di Indonesia adalah HMI, dimana telah menjadikan pemikiran neo-modernisme ini sebagai referensi utama bagi pemahaman teologinya. Lewat pemikiran-pemikiran Cak Nur yang juga mantan ketua PB HMI inilah konsep Islam Keindonesiaan ditawarkan oleh kader-kader HMI.
Lain halnya dengan PMII, ormas mahasiswa Islam ini lebih mengembangkan teologi yang lebih radikal bila dipandang oleh sebagian besar umat Islam pada umumnya. Pada mulanya PMII memakai doktrin teologi Aswaja (ahlussunnah wal jama’ah) sebagi doktrin resmi yang dipakai NU dan masyarakat Islam Indonesia pada umumnya. Doktrin teologi Aswaja lebih banyak berbicara mengenai takdir manusia yang telah ditentukan Allah, dan kedudukan manusia sebagai makhluk. Namun akhir-akhir ini tradisi kritik yang berkembang di PMII tidak hanya menggugat kemapanan (status quo) struktur sosial, ekonomi dan politik yang ada, tapi termasuk doktrin teologi Aswaja. PMII dengan berani menggulirkan perlunya pembacaan kembali konsep Aswaja tersebut.
Dewasa ini terdapat loncatan perubahan yang cukup menyolok dikalangan kader-kader PMII. Sebagai angkatan muda NU, mereka sebagian besar berasal dari kalangan tradisional, kelompok masyarakat yang sering diidentikkan dengan konservatifisme sosial lewat apresiasi yang rendah terhadap hal-hal baru. Mereka juga dikenal dengan keterbelakangan kultural karena orientasi hidup mereka dipercayai hanya sebatas penerapan dan pemeliharaan nilai-nilai lama yang teguh dipegangi dan diyakini.
Pandangan ini mulai bergeser ketika PMII kini memiliki pandangan intelektual yang lebih terbuka, peka dan peduli terhadap masalah keagamaan dan kehidupan sosial. Konsekuensi dari keterbukaan ini bagi PMII adalah sikap menerima perbedaan, akomodatif, dan toleran.
Tradisi berpikir kritis terhadap segala macam bentuk kemapanan yang ada, telah membawa PMII melakukan kajian terhadap kondisi kehidupan sosial, termasuk kebekuan-kebekuan yang dialami agama, yang ini hemat penulis sebagai akar-akar pemikiran liberal. Doktrin-doktrin ajaran agama saat ini, menurut PMII, sudah tidak relevan lagi dengan perubahan jaman. Karena ajaran agama yang ada telah tercerabut dari keaslian akar tradisi masyarakat. Ajaran agama tidak tertanam dalam kesadaran masyarakat. Untuk itu perlu dilakukan tafsir ulang terhadap doktrin-doktrin ajaran agama, bahkan sampai keakar-akarnya yaitu dimensi teologis.
Pada pembaharuan Teologi Islam nampaknya merupakan salah satu agenda utama dari salah satu Organisasi masyarakat terbesar di Indoensia, yaitu Muhammadiyah. Hal dilaksanakan dengan cara membumikan ajaran-ajaran Islam ke dalam kehidupan masyarakat. Teologi bukan sekedar seperti ilmu ushuluddin gaya lama, yang hanya berkutat pada persoalan Tuhan, tapi lebih dari itu, saat ini kalangan anak muda Islam memerlukan perspektif yang lain, yaitu menginginkan suatu teologi yang relevan dengan masalah masalah sosial yang kongkret. Ini lebih diperkenalkan oleh Amien Rais dengan istilah "tauhid sosial".
Perguruan tinggi membawa perubahan banyak terhadap pemikiran di Indonesia. Sebab, dalam sejarah kita melihat bahwa gerbong pemikiran Islam di Indonesia di mulai dari IAIN Sunan Kalijaga dan IAIN Syarif Hidatullah. Tidak heran jika kemudian paham liberal Islam terlahir dari rahim IAIN (sekarang UIN). Di sinilah nampaknya menarik mengkaji perkembangan pemikiran Islam modern di Indonesia dari tubuh organisasi-organisasi mahasiswa yang ada di perguruan tinggi-perguruan tinggi Islam.
Perkembangan pemikiran Islam dewasa ini telah diwarnai oleh dua jenis kutub pemikiran yang cenderung saling dihadap hadapkan dalam memahami doktrin ajaran Islam. Kedua jenis pemikiran tersebut adalah pemikiran revivalis atau lebih dikenal dengan Islam fundamentalis di satu sisi dan Islam liberal pada sisi yang lain. Kedua jenis pemikiran tersebut telah sedemikian luas mewarnai diskursus Islam yang sering mengarah pada konflik dan ketegangan antar keduanya karena perbedaan prinsip dasar interpretasi.
Sementara kalangan Islam liberal adalah kelompok muslim yang memegang teguh interpretasi doktrin Islam secara liberal dikenal sebagai kelompok muslim yang mencoba melakukan penafsiran kritis doktrin ajaran Islam melalui pemaknaan kontekstual doktrin Islam. Perkembangan pemikiran Islam liberal di Indonesia ini difokuskan pada sekelompok kaum muda muslim yang menamakan dirinya Jaringan Islam Liberal (JIL).
Jaringan ini secara tegas mengklaim diri mereka sebagai pendukung Islam liberal. Dengan merujuk pada beberapa tokoh yang dikenal sebagai muslim liberal, kelompok ini mencoba menyebarkan ide ide progresif seperti membuka pintu ijtihad, kebebasan beragama dan berkepercayaan, semangat pluralisme, sekularisasi dan lainnya. JIL telah mengundang beragam respon dari kalangan umat Islam Indonesia baik dari yang bernada mendukung ataupun yang menolaknya.
Pesatnya pengaruh pemikiran yang berasal dari luar Indonesia banyak sekali membawa perubahan terhadap pola pikir budaya umat Islam di Indonesia. Seperti munculnya aliran Jaringan Islam Liberal (JIL), Front Pembela Islam (FPI), Majlis Mujahidin Indonesia (MMI), dan lain sebagainya. Adanya berbagai aliran ini dilatarbekalangi oleh adanya kesadaran kritis, yaitu kesadaran yang menolak dominasi dalam budaya keagamaan indonesia yang cenderung sarat dengan kepentingan, tunduk pada etos konsumerisme, menopang tatanan yang ada, atau malahan mengambil keuntungan darinya.

b. Fenomena Aliran Keagamaan di Indonesia
Perkembangan pemikiran Islam sampai munculnya faham-faham keagamaan di dunia Muslim, senantiasa menarik untuk diamati. Sebab, dari perkembangan pemikiran itu dapat dilihat bagaimana corak pergerakan dan cara pandang keagamaan yang sangat memengaruhi kehidupan sosial, politik, dan budaya umat Islam. Terlebih dalam konteks Indonesia, umat Islamnya sampai sekarang ini sudah mencapai jumlah kurang lebih 90 persen dari total penduduk. Oleh karena itu, perkembangan pemikiran Islam tentu sangat berpengaruh pada situasi dan kondisi Indonesia.
span style="font-family: "Arial Narrow","sans-serif";">Perubahan ”orde” dari yang ”lama”, ”baru”, sampai yang sedang terjadi sekarang, ”reformasi”, bukan saja merubah sistem dan tatanan dalam berpolitik, juga sangat mempengaruhi pola dan dinamika pemikiran umat Islam. Saya pernah membuka dan membaca dalam internet, suatu refleksi seorang umat Islam dalam menyikapi keadaan masyarakat Indonesia sekarang : ”Belakangan ini dapat kita lihat, betapa tidak sedikitnya tokoh yang menawarkan diri untuk menjadi pemimpin, mencalonkan diri sebagai presiden, bahkan tidak tangung-tanggung ada pula orang yang mengaku diri sebagai nabi atau malaikat. Betapa heboh nya dinamika bangsa ini. Bukan saja dalam hal kebangsaaan, melainkan juga dalam hal kehidupan ruhaniah keagamaan”.
Tampaknya, kebebasan ’ala reformasi’, memberi peluang kepada semua orang untuk mengekspresikan jati dirinya baik melalui ide, harapan, maupun keinginan-keinginan yang selama ini (orde baru) terkunci. Demikian pula, kemunculan aliran-aliran keagamaan di Indonesia yang dipandang tidak sejalan dengan keyakinan pokok umat Islam yang mayoritas itu tidak terlepas dari beberapa faktor, baik pembinaan internal, partisipasi pemerintah, stabilitas politik, ekonomi, dan lain sebagainya. Namun demikian, salah satu faktor yang tidak bisa diabaikan adalah karena dangkalnya akidah dan pengetahuan sebagian umat Islam. Sehingga pada saat bersamaan, jika ada upaya pendangkalan akidah umat Islam karena tidak suka dengan berkembangnya Islam, akan mudah terpengaruhi.
Harus diakui, bahwa semua ormas dan orsospol Islam belum maksimal dalam membina aqidah umat. Pembinaan yang serius boleh jadi belum berhasil sepenuhnya.Di tataran akar rumput, harus diakui pula bahwa umat ini masih belum mendapat sentuhan pendidikan dan pembinaan keagamaan. Fenomena maraknya pengajian dan ceramah baru menyentuh lapis luar. Sedangkan akar rumput rakyat yang terselip di sana-sini, luput dari sentuhan pembinaan. Angka 250 aliran yang dipandang ”nyeleneh” dan masih mengakui sebagai umat Islam sepanjang 26 tahun, menunjukkan secara telanjang bahwa begitu mudahnya sebuah aliran itu lahir dan punya pengikut.
span style="font-family: "Arial Narrow","sans-serif";">Kita pun patut mempertanyakan kepedulian pemerintah, dalam hal ini lembaga terkait, seperti Departemen Agama, sudah sejak lama berkembang aliran-aliran keagamaan yang dipandang tidak sejalan keyakinan akidah mayoritas umat Islam Indonesia, tapi ”tidak” maksimal dalam bentuk tindakan nyata. Hal ini nampak, ketika umat sudah terjebak tindakan anarkis, barulah bertindak. Seolah-olah kebakaran jenggot. Alasannya memang begitu klise, pemerintah tidak boleh berpihak dan harus mengayomi semua aspirasi masyarakat.
Belum adanya payung hukum yang jelas untuk mengukur ”sesat tidaknya” sebuah aliran keagamaan, sehingga, kalaupun ada yang sudah dipandang ”sesat” oleh sebagian komunitas muslim maupun MUI, tidak dianggap sebagai melawan hukum. Kalau pun ada yang ditangkap, bukan karena urusan aqidah yang sesat, tapi karena dianggap meresahkan masyarakat.
Untuk menyikapi semaraknya aliran keagamaan yang ”nyeleneh”, yang perlu dilakukan, diantaranya :
Pertama; tugas dan kewajiban untuk meluruskan akidah yang dianggap ”nyeleneh” adalah tugas para ahli agama, seperti para Ulama, Kyai, para Da’i, cendekiawan dan intelektual Muslim, maupun ormas-ormas Islam. Karena mereka semua memiliki kapasitas keilmuan, kewibawaan, dan ketokohan yang dapat diterima oleh umat Islam. Oleh karena itu, satu sikap, saling kerja sama, dan memiliki visi dan misi yang sama untuk memperjuangkan nilai-nilai Islam supaya menjadi warna kehidupan bangsa Indonesia, adalah suatu tugas yang sangat mulia dan suci.
Kedua; pembinaan internal dilingkungan umat Islam lebih digiatkan dengan penyajian materi keagamaan yang terstruktur, misalnya mulai dari pemeliharaan dan pendalaman keimanan sampai kepada masalah-masalah yang berhubungan dengan berbagai aspek kehidupan. Dengan demikian, Islam tidak hanya dikesani sebagai urusan mesjid, majlis ta’lim, maupun perayaan-perayaan Islam lainnya, tetapi jauh dari kesan itu, yaitu sebagai way of life, sebagaimana dipesankan Alqur’an.
Ketiga; lembaga yang sudah diakui keberadaannya sebagai ”partner” pemerintah dalam urusan-urusan keagamaan, yaitu MUI, benar-benar menjadi representasi umat Islam Indonesia, juga, tidak hanya sebatas memberi fatwa-fatwa, tetapi juga memiliki dampak hukum yang mengikat. Oleh karena itu, MUI memerlukan payung hukum supaya lebih leluasa dalam upaya preventif dan melakukan pelarangan terhadap aliran-aliran keagamaan yang ”nyeleneh”.
Keempat; semakin maraknya aliran yang nyeleneh di berbagai tempat sangat meresahkan masyarakat. Para ulama dan umara kiranya perlu bersikap dan bertindak lebih tanggap mengantisipasi keadaan sebelum terlambat. Ulama dan umara diharapkan tidak tinggal diam bila mengetahui keberadaan suatu ajaran agama yang nyeleneh. Jangan dibiarkan berkembang dan membuat masyarakat resah sekaligus juga bisa menimbulkan ketidakstabilan masyarakat. Masyarakat yang resah bisa saja mengambil tindakan sendiri. Kericuhan dan kekacauan massa bisa terjadi tiba-tiba.

2 komentar:

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  2. Dari apa yang saya baca, saya merasa tulisan anda lebih banyak informasi mengenai sejarah pergerakan, aksi, ataupun organisasi di indonesia. Salam.

    BalasHapus