PERKEMBANGAN PEMIKIRAN ISLAM DI INDONESIA
a.
Latar Belakang Perkembangan
Pemikiran Islam Di Indonesia
Peta pemikiran Islam kontemporer di
Indonesia terjadi pada penguhujung abad XX. Kenyataan ini sempat menjadi heboh,
karena munculnya beberapa tokoh yang sebelumnya sama sekali tidak
diprediksikan. Para cendekiawan tersebut dengan serta merta menunjukkan apresiatifnya
terhadap wacana keislaman secara tajam.
Sikap apresiatif terhadap
wacana keislaman itu adalah diwakili keempat tokoh; Amien Rais, Nurcholis
Madjid, Abdurraman Wahid dan Jalauluddin Rahmat. Dengan segala kelebihan dan
kekurangannya mereka telah menuangkan ide dan gagasan segarnya sebagai
sumbangan pemikiran keislaman yang sangat berguna bagi pengembangan umat
beragama di Indoensia. Lebih dari itu, mereka amat dekat dengan publik dan
dunia pers. Hampir tidak ada waktu luang bagi mereka untuk menyendiri.
Mereka memiliki reputasi yang
sangat tinggi baik di kalangan bawah. Hanya saja mereka mempunyai simplifikasi
tertentu yang membuat mereka dapat berkomunikasi dengan komunitasnya.
Nurcholish Madjid misalnya, ia lebih dekat dengan kaum intelektual, begitu juga
Amien Rais, di samping ia memiliki basis konstuennnya di kalangan Muhammadiyah.
Hal serupa juga tidak kalah reputasinaya dengan ketokohan Abdurrahman Wahid dan
Jaluluddin Rahmat. Dari keempat tokoh itu, dua di antaranya sudah kembali
kepada Sang Pencipta, ialah Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid.
Perkembangan
pemikiran Islam di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari sejarah berdirinya
organisasi-organisasi masyarakat dan politik. Terbukti sebagian besar pemikiran
Islam terlahir dari organisasi-organisasi yang ada, dilanjutkan dengan
aktifitas-aktifitas keagamaan yang mengarah kepada islamisasi budaya dan
politik secara massal. Mahasiswa sebagai motor penggerak (lokomotif)
organisasi-organisasi massa sangat besar perannya bagi arah
pemikiran Islam di Indonesia. Sehingga dari sinilah—dalam bahasa Deliar
Noer—dapat diketahui akar kebangkitan Islam Indonesia, tidak hanya dalam
frame pergerakan, tapi juga pemikiran. Lebih luas, akan ditemukan akar
modernisasi Islam di Indonesia.
Syafii Maarif, optimis Islam akan mampu memberi corak pertumbuhan
dan perkembangan pemikiran masyarakat Islam yang berwawasan moral. Asalkan
Islam dipahami secara benar dan realistis, tidak diragukan lagi akan berpotensi
dan berpeluang besar untuk ditawarkan sebagai pilar pilar peradaban alternatif
di masa depan. Sumbangsih solusi Islam terhadap masalah masalah kemanusiaan
yang semakin lama semakin komplek ini, baru punya makna historis bila umat
Islam sendiri dapat tampil sebagai umat yang beriman dan cerdas.
Sejak awal berdirinya, sebagian organisasi mahasiswa Islam ada
yang terlahir dari kelompok sosial keagamaan dengan identitas yang jelas.
Misalnya saja IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah) yang terang-terangan
mengusung nama Muhammadiyah, dan PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia) meski secara struktural
independen, namun masih memiliki ikatan kultural yang erat dengan NU. Sedangkan
ormas mahasiswa Islam yang lain, HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) dan KAMMI
(Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia) , tidak secara jelas membawa
identitas kelompok keagamaan tertentu, malah mereka cenderung menjadi kelompok
keagamaan tersendiri. Dari sini kemudian berkembanglah corak wacana dan
strategi perjuangan yang berbeda-beda.
Perbedaan ini muncul akibat beragamnya metode pendekatan pemikiran
keagamaan, sebagai basis ideologi yang mereka bangun. Kebebasan berpikir yang
telah menjadi kultur sehari-hari di dunia akademis, telah mengundang sebagian
besar mahasiswa Islam untuk merumuskan kembali paradigma pemikiran keagamaan
yang telah ada. Hampir semua sepakat bahwa paradigma pemikiran umat Islam saat
ini merupakan hasil formulasi ulama klasik. Meski mengalami pembaharuan
beberapa kali, tapi tidak banyak perubahan mendasar dalam paradigma pemikiran
tersebut. Terlebih lagi tuntutan perubahan mengharuskan umat Islam menyusun
kembali paradigma yang baru.
HMI lahir ditengah-tengah suasana revolusi dalam mempertahankan
kemerdekaan, yaitu pada 5 Februari 1947 di kota Yogyakarta. Lafran Pane dan
kawan-kawan merasa prihatin dengan kondisi umat Islam saat itu yang
terpecah-pecah dalam berbagai aliran keagamaan dan politik serta jurang
kemiskinan dan kebodohan. Oleh karena itu dibutuhkan langkah-langkah strategis
untuk mengambil peranan dalam berbagai aspek kehidupan. Kemudian didirikanlah
wadah perkumpulan mahasiswa Islam yang memiliki potensi besar bagi terbinanya
insan akademik, pencipta, pengabdi yang bernafaskan Islam dan bertanggung jawab
atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah.
Dalam perjalanannya, HMI telah banyak melahirkan kader-kader
pemimpin bangsa. Hampir di sepanjang pemerintahan Orde Baru selalu ada mantan
kader HMI yang duduk di kabinet. Hal ini tentunya tidak lepas dari peran
signifikan HMI dalam keikutsertannya menumbangkan Orde Lama serta menegakkan
Orde Baru. Selain itu, sebagai ormas mahasiswa Islam yang independen dan
bergerak dijalur intelektual, tidak jarang HMI melahirkan gerakan pembaharuan
pemikiran Islam kontemporer di Indonesia.
Beberapa kader HMI bahkan sering melontarkan wacana pemikiran Islam yang
mengundang kontroversi. Misalnya saja wacana sekulerisasi agama yang
diungkapkan Nurcholish Madjid melalui slogannya yang terkenal “Islam Yes,
Partai Islam No!.
Nahdlatul Ulama (NU) sebagai ormas Islam terbesar di Indonesia
pada tanggal 17 April 1960 di Surabaya mendirikan sebuah organisasi sebagai
wadah pergerakan angkatan mudanya dari kalangan mahasiswa yakni Pergerakan
Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Pada perkembangannya di awal tahun 1970-an
PMII secara struktural menyatakan diri sebagai organisasi independen, terlepas
dari ormas apa pun, termasuk dari sang induknya, NU.
Pada masa pergerakan mahasiswa 1998, menjelang peristiwa jatuhnya
Soeharto, PMII bersama kaum muda NU lainnya telah bergabung dengan elemen
gerakan mahasiswa untuk mendukung digelarnya people’s power dalam menumbangkan
rezim Soeharto. Sikap ini telah jauh mendahului sikap resmi kiai senior NU yang
lebih konservatif yakni senantiasa menjaga kedekatan dengan pusat kekuasaan
untuk membela kepentingan pesantren. Di jalur intelektual PMII banyak mengembangkan
dan mengapresiasikan gagasan-gagasan baru, misalnya mengenai hak asasi manusia,
gender, demokrasi dan lingkungan hidup.
Ketika situasi nasional mengarah pada demokrasi terpimpin yang
penuh gejolak politik di tahun 1960-an, dan perkembangan dunia kemahasiswaan
yang terkotak-kotak dalam bingkai politik dengan meninggalkan arah pembinaan
intelektual, beberapa tokoh angkatan muda Muhammadiyah seperti Muhammad Djaman
Alkirdi, Rosyad Soleh, Amin Rais dan kawan-kawan memelopori berdirinya Ikatan
Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) di Yogyakarta pada tanggal 14 Maret 1964.
Sebagai organisasi otonom (ortom) Muhammadiyah sifat dan gerakan
IMM sama dengan Muhammadiyah yakni sebagai gerakan dakwah Islam amar ma’ruf
nahi mungkar. Ide dasar gerakan IMM adalah; Pertama, Vision, yakni membangun
tradisi intelektual dan wacana pemikiran melalui intelectual enlightement
(pencerahan intelektual) dan intelectual enrichment (pengkayaan intelektual).
Strategi pendekatan yang digunakan IMM ialah melalui pemaksimalan potensi kesadaran
dan penyadaran individu yang memungkinkan terciptanya komunitas ilmiah. Kedua,
Value, ialah usaha untuk mempertajam hati nurani melalui penanaman nilai-nilai
moral agama sehingga terbangun pemikiran dan konseptual yang mendapatkan
pembenaran dari Al Qur’an. Ketiga, Courage atau keberanian dalam melakukan
aktualisasi program, misalnya dalam melakukan advokasi terhadap permasalahan
masyarakat dan keberpihakan ikatan dalam pemberdayaan umat.
KAMMI terbentuk dalam rangkaian acara FS LDK (Forum Sillaturahmi
Lembaga Da’wah Kampus) Nasional X di Universitas Muhammadiyah Malang tanggal
25-29 Maret 1998. Setidaknya ada dua alasan terbentuknya KAMMI, pertama,
sebagai ekspresi keprihatian mendalam dan tanggung jawab moral atas krisis dan
penderitaan rakyat yang melanda Indonesia serta itikad baik untuk berperan aktif
dalam proses perubahan. Kedua, untuk membangun kekuatan yang dapat berfungsi
sebagai peace power untuk melakukan tekanan moral kepada pemerintah.
Selanjutnya bersama elemen gerakan mahasiswa lainnya, KAMMI
melakukan tekanan terhadap pemerintahan Orde Baru melalui gerakan massa. Dalam pandangan KAMMI, krisis
yang terjadi saat itu adalah menjadi tanggung jawab pemimpin dan pemerintah Indonesia sebagai pengemban amanah rakyat.
Karena itu untuk memulai proses perubahan tersebut mesti diawali dengan adanya
pergantian kekuasaan. Rezim Orde Baru dengan segala macam kebobrokannya, harus
diganti dengan pemerintahan yang bersih dan berwibawa.
Setelah tidak kuat menahan desakan rakyat, akhirnya Soeharto
dengan terpaksa meletakkan jabatannya. Namun bagi KAMMI, proses reformasi di Indonesiabelumlah selesai, masih
membutuhkan proses yang panjang. Lewat Muktamar Nasional KAMMI yang pertama,
1-4 Oktober 1998, KAMMI memutuskan diri berubah dari organ gerakan menjadi ormas
mahasiswa Islam. Peran utamanya adalah untuk menjadi pelopor, pemercepat dan
perekat gerakan pro-reformasi.
Pemikiran keagamaan dalam masyarakat Islam bersumber dari ajaran
aqidah yang dijelaskan dalam Al Qur’an dan Sunnah Nabi Saw dengan inti
kepercayaan pengesaan Tuhan (tauhid) dan pengakuan atas kerasulan Muhammmad
(Muhammad Rasulullah). Pemikiran teologi tentang Allah merupakan sebuah
keyakinan terhadap adanya realitas transedental yang tunggal dan menuntut
adanya aplikasi ketaatan pada tataran aksi. Oleh karenanya wujud nyata dari
perilaku dan kepribadian umat Islam merupakan cerminan yang tidak dapat
dipisahkan dari landasan pemikirannya, baik yang tradisionalis, modernis
ataupun neo-modernis.
Di Indonesia sendiri, Fachry Ali dan Bahtiar Effendy menyatakan
tentang tipologi gerakan intelektualisme Islam neo-modernisme. Gerakan
pemikiran neo-modernisme merupakan gerakan pemikiran Islam yang muncul di Indonesia sekitar tahun 1970-an. Gerakan ini
lahir dari tradisi modernisme Islam yang terdahulu dan telah cukup mapan di Indonesia. Akan tetapi ia memakai
pendekatan yang lebih khas dari sisi konsepsi maupun aplikasi ide-ide. Dan
salah satu organisasi mahasiswa yang cukup berperan memberikan arah pemikiran
Islam di Indonesia adalah HMI, dimana telah menjadikan pemikiran neo-modernisme
ini sebagai referensi utama bagi pemahaman teologinya. Lewat
pemikiran-pemikiran Cak Nur yang juga mantan ketua PB HMI inilah konsep Islam
Keindonesiaan ditawarkan oleh kader-kader HMI.
Lain halnya dengan PMII, ormas mahasiswa Islam ini lebih
mengembangkan teologi yang lebih radikal bila dipandang oleh sebagian besar
umat Islam pada umumnya. Pada mulanya PMII memakai doktrin teologi Aswaja
(ahlussunnah wal jama’ah) sebagi doktrin resmi yang dipakai NU dan masyarakat
Islam Indonesia pada umumnya. Doktrin teologi Aswaja
lebih banyak berbicara mengenai takdir manusia yang telah ditentukan Allah, dan
kedudukan manusia sebagai makhluk. Namun akhir-akhir ini tradisi kritik yang
berkembang di PMII tidak hanya menggugat kemapanan (status quo) struktur
sosial, ekonomi dan politik yang ada, tapi termasuk doktrin teologi Aswaja.
PMII dengan berani menggulirkan perlunya pembacaan kembali konsep Aswaja
tersebut.
Dewasa ini terdapat loncatan perubahan yang cukup menyolok
dikalangan kader-kader PMII. Sebagai angkatan muda NU, mereka sebagian besar
berasal dari kalangan tradisional, kelompok masyarakat yang sering diidentikkan
dengan konservatifisme sosial lewat apresiasi yang rendah terhadap hal-hal
baru. Mereka juga dikenal dengan keterbelakangan kultural karena orientasi
hidup mereka dipercayai hanya sebatas penerapan dan pemeliharaan nilai-nilai
lama yang teguh dipegangi dan diyakini.
Pandangan ini mulai bergeser ketika PMII kini memiliki pandangan
intelektual yang lebih terbuka, peka dan peduli terhadap masalah keagamaan dan
kehidupan sosial. Konsekuensi dari keterbukaan ini bagi PMII adalah sikap
menerima perbedaan, akomodatif, dan toleran.
Tradisi berpikir kritis terhadap segala macam bentuk kemapanan
yang ada, telah membawa PMII melakukan kajian terhadap kondisi kehidupan
sosial, termasuk kebekuan-kebekuan yang dialami agama, yang ini hemat penulis
sebagai akar-akar pemikiran liberal. Doktrin-doktrin ajaran agama saat ini,
menurut PMII, sudah tidak relevan lagi dengan perubahan jaman. Karena ajaran
agama yang ada telah tercerabut dari keaslian akar tradisi masyarakat. Ajaran
agama tidak tertanam dalam kesadaran masyarakat. Untuk itu perlu dilakukan
tafsir ulang terhadap doktrin-doktrin ajaran agama, bahkan sampai
keakar-akarnya yaitu dimensi teologis.
Pada pembaharuan Teologi Islam nampaknya merupakan salah satu
agenda utama dari salah satu Organisasi masyarakat terbesar di Indoensia, yaitu
Muhammadiyah. Hal dilaksanakan dengan cara membumikan ajaran-ajaran Islam ke
dalam kehidupan masyarakat. Teologi bukan sekedar seperti ilmu ushuluddin gaya lama,
yang hanya berkutat pada persoalan Tuhan, tapi lebih dari itu, saat ini
kalangan anak muda Islam memerlukan perspektif yang lain, yaitu menginginkan
suatu teologi yang relevan dengan masalah masalah sosial yang kongkret. Ini
lebih diperkenalkan oleh Amien Rais dengan istilah "tauhid sosial".
Perguruan tinggi membawa perubahan banyak terhadap pemikiran di
Indonesia. Sebab, dalam sejarah kita melihat bahwa gerbong pemikiran Islam di
Indonesia di mulai dari IAIN Sunan Kalijaga dan IAIN Syarif Hidatullah. Tidak
heran jika kemudian paham liberal Islam terlahir dari rahim IAIN (sekarang
UIN). Di sinilah nampaknya menarik mengkaji perkembangan pemikiran Islam modern
di Indonesia dari tubuh organisasi-organisasi mahasiswa yang ada di perguruan
tinggi-perguruan tinggi Islam.
Perkembangan pemikiran Islam dewasa ini telah diwarnai oleh dua
jenis kutub pemikiran yang cenderung saling dihadap hadapkan dalam memahami
doktrin ajaran Islam. Kedua jenis pemikiran tersebut adalah pemikiran revivalis
atau lebih dikenal dengan Islam fundamentalis di satu sisi dan Islam liberal
pada sisi yang lain. Kedua jenis pemikiran tersebut telah sedemikian luas
mewarnai diskursus Islam yang sering mengarah pada konflik dan ketegangan antar
keduanya karena perbedaan prinsip dasar interpretasi.
Sementara kalangan Islam liberal adalah kelompok muslim yang
memegang teguh interpretasi doktrin Islam secara liberal dikenal sebagai
kelompok muslim yang mencoba melakukan penafsiran kritis doktrin ajaran Islam
melalui pemaknaan kontekstual doktrin Islam. Perkembangan pemikiran Islam
liberal di Indonesia ini difokuskan pada sekelompok kaum muda muslim yang
menamakan dirinya Jaringan Islam Liberal (JIL).
Jaringan ini secara tegas mengklaim diri mereka sebagai pendukung
Islam liberal. Dengan merujuk pada beberapa tokoh yang dikenal sebagai muslim
liberal, kelompok ini mencoba menyebarkan ide ide progresif seperti membuka
pintu ijtihad, kebebasan beragama dan berkepercayaan, semangat pluralisme, sekularisasi
dan lainnya. JIL telah mengundang beragam respon dari kalangan umat Islam Indonesia baik dari yang bernada mendukung
ataupun yang menolaknya.
Pesatnya pengaruh pemikiran yang berasal dari luar Indonesia
banyak sekali membawa perubahan terhadap pola pikir budaya umat Islam di
Indonesia. Seperti munculnya aliran Jaringan Islam Liberal (JIL), Front Pembela
Islam (FPI), Majlis Mujahidin Indonesia (MMI), dan lain sebagainya. Adanya
berbagai aliran ini dilatarbekalangi oleh adanya kesadaran kritis, yaitu
kesadaran yang menolak dominasi dalam budaya keagamaan indonesia yang cenderung sarat dengan
kepentingan, tunduk pada etos konsumerisme, menopang tatanan yang ada, atau
malahan mengambil keuntungan darinya.
b.
Fenomena Aliran Keagamaan di Indonesia
Perkembangan pemikiran Islam sampai munculnya
faham-faham keagamaan di dunia Muslim, senantiasa menarik untuk diamati. Sebab,
dari perkembangan pemikiran itu dapat dilihat bagaimana corak pergerakan dan
cara pandang keagamaan yang sangat memengaruhi kehidupan sosial, politik, dan
budaya umat Islam. Terlebih dalam konteks Indonesia, umat Islamnya sampai
sekarang ini sudah mencapai jumlah kurang lebih 90 persen dari total penduduk.
Oleh karena itu, perkembangan pemikiran Islam tentu sangat berpengaruh pada situasi
dan kondisi Indonesia.
span style="font-family: "Arial
Narrow","sans-serif";">Perubahan ”orde” dari yang
”lama”, ”baru”, sampai yang sedang terjadi sekarang, ”reformasi”, bukan saja
merubah sistem dan tatanan dalam berpolitik, juga sangat mempengaruhi pola dan
dinamika pemikiran umat Islam. Saya pernah membuka dan membaca dalam internet,
suatu refleksi seorang umat Islam dalam menyikapi keadaan masyarakat Indonesia
sekarang : ”Belakangan ini dapat kita lihat, betapa tidak sedikitnya tokoh yang
menawarkan diri untuk menjadi pemimpin, mencalonkan diri sebagai presiden,
bahkan tidak tangung-tanggung ada pula orang yang mengaku diri sebagai nabi
atau malaikat. Betapa heboh nya dinamika bangsa ini. Bukan saja dalam hal
kebangsaaan, melainkan juga dalam hal kehidupan ruhaniah keagamaan”.
Tampaknya, kebebasan ’ala reformasi’, memberi
peluang kepada semua orang untuk mengekspresikan jati dirinya baik melalui ide,
harapan, maupun keinginan-keinginan yang selama ini (orde baru) terkunci.
Demikian pula, kemunculan aliran-aliran keagamaan di Indonesia yang dipandang
tidak sejalan dengan keyakinan pokok umat Islam yang mayoritas itu tidak
terlepas dari beberapa faktor, baik pembinaan internal, partisipasi pemerintah,
stabilitas politik, ekonomi, dan lain sebagainya. Namun demikian, salah satu
faktor yang tidak bisa diabaikan adalah karena dangkalnya akidah dan
pengetahuan sebagian umat Islam. Sehingga pada saat bersamaan, jika ada upaya
pendangkalan akidah umat Islam karena tidak suka dengan berkembangnya Islam,
akan mudah terpengaruhi.
Harus diakui, bahwa semua ormas dan orsospol Islam
belum maksimal dalam membina aqidah umat. Pembinaan yang serius boleh jadi
belum berhasil sepenuhnya.Di tataran akar rumput, harus diakui pula bahwa umat
ini masih belum mendapat sentuhan pendidikan dan pembinaan keagamaan. Fenomena
maraknya pengajian dan ceramah baru menyentuh lapis luar. Sedangkan akar rumput
rakyat yang terselip di sana-sini, luput dari sentuhan pembinaan. Angka 250
aliran yang dipandang ”nyeleneh” dan masih mengakui sebagai umat Islam
sepanjang 26 tahun, menunjukkan secara telanjang bahwa begitu mudahnya sebuah
aliran itu lahir dan punya pengikut.
span style="font-family: "Arial
Narrow","sans-serif";">Kita pun patut mempertanyakan
kepedulian pemerintah, dalam hal ini lembaga terkait, seperti Departemen Agama,
sudah sejak lama berkembang aliran-aliran keagamaan yang dipandang tidak
sejalan keyakinan akidah mayoritas umat Islam Indonesia, tapi ”tidak” maksimal
dalam bentuk tindakan nyata. Hal ini nampak, ketika umat sudah terjebak
tindakan anarkis, barulah bertindak. Seolah-olah kebakaran jenggot. Alasannya
memang begitu klise, pemerintah tidak boleh berpihak dan harus mengayomi semua
aspirasi masyarakat.
Belum adanya payung hukum yang jelas untuk mengukur
”sesat tidaknya” sebuah aliran keagamaan, sehingga, kalaupun ada yang sudah
dipandang ”sesat” oleh sebagian komunitas muslim maupun MUI, tidak dianggap
sebagai melawan hukum. Kalau pun ada yang ditangkap, bukan karena urusan aqidah
yang sesat, tapi karena dianggap meresahkan masyarakat.
Untuk menyikapi semaraknya aliran keagamaan yang
”nyeleneh”, yang perlu dilakukan, diantaranya :
Pertama; tugas dan kewajiban untuk meluruskan
akidah yang dianggap ”nyeleneh” adalah tugas para ahli agama, seperti para
Ulama, Kyai, para Da’i, cendekiawan dan intelektual Muslim, maupun ormas-ormas
Islam. Karena mereka semua memiliki kapasitas keilmuan, kewibawaan, dan
ketokohan yang dapat diterima oleh umat Islam. Oleh karena itu, satu sikap,
saling kerja sama, dan memiliki visi dan misi yang sama untuk memperjuangkan
nilai-nilai Islam supaya menjadi warna kehidupan bangsa Indonesia, adalah suatu
tugas yang sangat mulia dan suci.
Kedua; pembinaan internal dilingkungan umat Islam
lebih digiatkan dengan penyajian materi keagamaan yang terstruktur, misalnya
mulai dari pemeliharaan dan pendalaman keimanan sampai kepada masalah-masalah
yang berhubungan dengan berbagai aspek kehidupan. Dengan demikian, Islam tidak
hanya dikesani sebagai urusan mesjid, majlis ta’lim, maupun perayaan-perayaan
Islam lainnya, tetapi jauh dari kesan itu, yaitu sebagai way of life,
sebagaimana dipesankan Alqur’an.
Ketiga; lembaga yang sudah diakui keberadaannya
sebagai ”partner” pemerintah dalam urusan-urusan keagamaan, yaitu MUI,
benar-benar menjadi representasi umat Islam Indonesia, juga, tidak hanya
sebatas memberi fatwa-fatwa, tetapi juga memiliki dampak hukum yang mengikat.
Oleh karena itu, MUI memerlukan payung hukum supaya lebih leluasa dalam upaya
preventif dan melakukan pelarangan terhadap aliran-aliran keagamaan yang ”nyeleneh”.
Keempat; semakin maraknya aliran yang nyeleneh di
berbagai tempat sangat meresahkan masyarakat. Para ulama dan umara kiranya
perlu bersikap dan bertindak lebih tanggap mengantisipasi keadaan sebelum
terlambat. Ulama dan umara diharapkan tidak tinggal diam bila mengetahui
keberadaan suatu ajaran agama yang nyeleneh. Jangan dibiarkan berkembang dan
membuat masyarakat resah sekaligus juga bisa menimbulkan ketidakstabilan
masyarakat. Masyarakat yang resah bisa saja mengambil tindakan sendiri. Kericuhan
dan kekacauan massa bisa terjadi tiba-tiba.
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusDari apa yang saya baca, saya merasa tulisan anda lebih banyak informasi mengenai sejarah pergerakan, aksi, ataupun organisasi di indonesia. Salam.
BalasHapus